Belum lama berselang kita dikejutkan oleh dentuman hebat dari bom yang meledak di dua buah hotel berbintang yang berada di kawasan Kuningan, Jakarta. Sebagai umat Islam tentu saya sangat prihatin menyaksikan peristiwa bom bunuh diri tersebut, tidak saja yang terjadi di negeri kita tapi juga bom-bom bunuh diri yang bertebaran di berbagai negeri. Yang lebih mengiris hati adalah pelaku bom itu sendiri notabene beragama Islam, agama yang seharusnya menjadi "rahmatan lil ‘alamin" (penebar kasih sayang bagi alam semesta), tetapi malah menjadi "penebar bencana", hanya lantaran pemahaman keliru dari segelintir orang. Maka pantas saja jika agama tauhid ini selalu dicurigai, dimusuhi dan lantas jadi sasaran kebencian di berbagai belahan dunia yang pemeluk agama Islamnya merupakan kaum minoritas, baik itu di Eropa, Amerika, China, Afrika, maupun Australia.
Memang, apabila kita mencari siapa yang salah dalam hal ini cukup rumit karena masing-masing kepala memiliki pandangan yang berbeda. Kaum teroris ini beranggapan bahwa mereka hanya melampiaskan dendam atas perilaku "politik barat" yang memiliki standar ganda apabila berhadapan dengan Islam. Sedangkan pihak barat beranggapan bahwa Islam (radikal) merupakan ancaman serius bagi perdamaian dunia. Lalu siapa yang benar dalam masalah ini? Bukanlah hak kita untuk menilai kebenaran karena kebenaran akan menjadi relatif apabila dihadapkan kepada berbagai pandangan yang berbeda. Yang akan kita persoalkan disini adalah menyangkut ukhuwah Islamiyah, karena slogan ini seringkali menimbulkan pertikaian di antara umat beragama, tidak saja antara Islam dengan agama lain tetapi juga antara Islam dengan Islam itu sendiri.
Tidak ada Ukhuwah Islamiyah
Melihat
banyaknya pertikaian yang terjadi antarumat beragama dan perilaku kaum
teroris mungkin karena adanya kesalahan persepsi dalam memahami ajaran
yang mereka anut (Islam). Karena menurut ilmu psikologi, manusia
dibentuk atas proses perception (persepsi), kemudian melahirkan attitude (sikap), dan pada akhirnya membentuk behavior
(perilaku). Dengan demikian, menurut pandangan ini, tingkah laku dan
tindakan manusia tidak akan terlepas dari persepsinya dalam menilai
"sesuatu".
Mengacu pada hal tersebut, barangkali, banyak
diantara kita (tidak hanya kaum teroris) yang telah keliru dalam
mempersepsi berbagai hal, salah satunya adalah masalah ukhuwah (persudaraan). Kata "ukhuwah" seringkali disandingkan dengan kata "islamiyah"
sehingga telah melahirkan sikap dan perilaku yang antipati terhadap
agama lain, dan ujung-ujungnya melahirkan kaum Islam radikal seperti
para teroris. Bahkan tidak itu saja, slogan ukhuwah islamiyah
(persaudaraan Islam) inipun telah mengaburkan pandangan beberapa
kelompok Islam sehingga kadang mereka beranggapan hanya anggota
kelompoknya saja (inner group) yang merupakan saudara sementara yang diluar kelompoknya (outer group)
adalah orang-orang "murtad" yang tidak layak dianggap sebagai saudara
(dalam beberapa kasus, dianggap sebagai musuh). Padahal jika kita mau
menilik Al-Qur’an dan Hadits, tak ada satupun ayat yang dapat dijadikan
landasan bagi istilah tersebut. Islam, sebagai agama universal dan
humanis, tidak pernah mengenalkan istilah ukhuwah Islamiyah dalam
ajarannya. Karena istilah ini, selain sangat primordial (dan ini tidak
disukai oleh Islam), juga sangat rentan terhadap kesalahan persepsi yang
dapat menyesatkan dan menimbulkan pertikaian, seperti yang dijelaskan
di atas. Yang ada Ukhuwah Imaniyah
Al-Qur’an surat Al Hujuraat ayat 10 menyebutkan:
Dalam terjemahan bebas dapat diartikan:
"Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara saudara-saudara kamu (apabila mereka berselisih), dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu diberi perasaan kasih sayang."
Dari ayat di tersebut jelas menunjukkan bahwa yang seharusnya menjadi slogan untuk persaudaraan adalah Ukhuwah Imaniyah bukan Ukhuwah Islamiyah, karena menurut Allah, Tuhan Yang Maha Tahu akan kebaikan untuk ciptaanNya, semua orang beriman itu bersaudara (tidak sebatas orang Islam saja). Lantas pertanyaannya, siapa "orang beriman" yang dimaksud? Jika menilik Al Qur’an, banyak ayat di dalamnya yang memberi penjelasan mengenai "orang beriman" ini sebagai "yu’minuuna billaahi wal yaumil aakhiri" (beriman kepada Allah dan hari akhir). Memang ada juga ayat-ayat yang menjelaskan lebih terperinci, seperti beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitabNya dan para Nabi. Tapi jika mengacu pada banyaknya ayat dan tujuan Islam sebagai agama "rahmatan lil ‘alamin" maka yang lebih tepat untuk pengertian "orang beriman" yang dimaksud dalam surat Al Hujuraat di atas adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir (yu’minuuna billaahi wal yaumil aakhiri).
Semua manusia bersaudara
Pengertian "orang beriman" dalam QS 49:10 merujuk pada mereka yang "yu’minuuna billaahi wal yaumil aakhiri",
dipertegas oleh lanjutan ayat tersebut yang membicarakan larangan dan
perintah kepada umat manusia (kaum). QS 49:11 melarang penghinaan
antarkaum dan QS 49:12 menyuruh untuk menjauhi prasangka buruk terhadap
orang lain. Dengan demikian maka semua kaum (umat manusia) adalah
bersaudara. Karena kaum apapun dimuka bumi ini, baik itu Islam, Kristen,
Yahudi, Budha, Hindu, dan Kon Fu Chu, mengimani adanya Dzat Tunggal
(Tuhan) yang menciptakan alam semesta (Tuhan disebut Allah dalam Bahasa
Arab, asal kata dari al ilah) dan akan adanya akhir dari segala
kehidupan. Bahkan seorang atheis seperti Stephen Hawking (ahli Fisika
yang disebut-sebut sebagai Einstein abad 20, yang tidak mempercayai
ajaran agama tapi mempercayai adanya Sang Pencipta) sekalipun
mempercayai akan adanya keruntuhan galaksi (dalam bahasa agama disebut
kiamat), sebagaimana ia tuliskan dalam bukunya The History of Space
(Riwayat Sangkala). Lantas, jika kita semua bersaudara mengapa masih ada
primordialisme di antara suku, agama dan ras, padahal Tuhan sendiri
tidak menghendakinya?
Indahnya kasih sayang
Islam sebagai agama "rahmatan lil ‘alamin"
menekankan pada adanya perdamaian dunia yang dilandasi dengan kasih
sayang antarsesama, karena itu dalam surat Al Hujuraat ayat 10 di atas,
Tuhan memerintahkan: "damaikanlah antara saudara-saudara kamu (apabila mereka berselisih), dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu diberi perasaan kasih sayang". Perintah "mendamaikan" ini disertai perintah taqwa dengan maksud supaya semua jenis perdamaian tidak dilandaskan pada like and dislike
atau keberpihakan kepada satu golongan tertentu tapi dilandaskan kepada
rasa keadilan. Jika "mendamaikan" ini dilaksanakan maka Tuhan akan
memberi "perasaan kasih sayang" kepada manusia. Dan jika "perasaan kasih
sayang" ini meresap dalam diri semua manusia di muka bumi ini maka akan
terciptalah sebuah dunia yang damai, aman, tenteram laksana syurga yang
dijanjikan. Sungguh indah jika ini terjadi. Wallahu a’lam....